Photobucket

Thursday, July 28, 2011

Budi Baik Mang Ujang

eh, dulu gak sempat jepretin kamera ke becak Mang Ujang, sementara ini nampangin pic bang Sayyif dulu deh, hehehe ^^


Lama ingin kuceritakan tentang beliau, namun kesempatan untuk mengenangnya melalui tulisan barulah hadir saat ini. Sosok bernama pendek Ujang ini adalah mantan supir di kantor tempat bapakku bekerja dahulu, beliau bertugas khusus buat mengendarai mobil dinas tim atau shift kelompok bapak.


Karena telah tiga kali kecelakaan kerja, Mang Ujang pun menjalani pemeriksaan kesehatan, ternyata ia sudah mengalami kemerosotan indera pendengaran. Pantas saja, kita harus berteriak kalau ngomong dengannya, harus kencang dan kadang diulang-ulang, beliau lebih mengerti gerakan mulut lawan bicara, suara kita tak terdengar jelas di telinganya. Maka ia berhenti bekerja namun tetap “orbit edarnya” di wilayah kompleks perumahan kami, menjadi seorang pengayuh becak.


Beliau termasuk pengayuh becak unik, lho, “jam kerja bebas”, lebih sering “nongkrong” di rumah kami atau di beberapa rumah tetangga yang paling akrab dengannya. Pokoknya, tidak mengejar setoran, selalu ramah, ‘nyantai’ beraktivitas. Saya dan kakak-kakakku sering saling menggoda, “hayooo…. Kenapa Mang Ujang selalu nongkrong paling lama di rumah kita?”, Jawaban yang serius adalah ‘karena bapak dan ibu kita sering meminta pertolongan tenaganya’.
Tapi kakakku yang usil sering menjawab (sambil pura-pura serius), “Karena… eng ing eng! Karena sebenarnya ada satu anaknya di antara kita, yang dititipkan di rumah ini!”, terang saja kami bisa saling lempar bantal atau handuk mendengar jawaban tersebut, (hehe, canda yang agak menyebalkan) apalagi mata kakakku itu ‘menuduh’ salah satu di antara kami, yang jelas-jelas tuduhan palsu, semuanya tak ada yang mirip Mang Ujang kok, dan secara fakta sudah jelas anak kandung bapak ibuku adalah kami berenam.

Tapi seringkali Mang Ujang jadi ikutan meladeni candaan itu, saat kakakku bertanya, “Mang Ujang kesini mau jenguk anaknya yah…?”, seraya melirik adik dengan goyangan bola mata yang usil. “iya…iya, dong…hehehe”, seloroh Mang Ujang. Wuaaargh, mulai deh rumah kayak panggung sandiwara, ada yang menangis, karena ‘gak rela’ menukar bapaknya jadi Mang Ujang.

Dalam kesehariannya saat tak mengayuh becak, beliau sering dimintai tolong oleh kami atau para penghuni kompleks lainnya, misalnya mengecat rumah, memperbaiki pagar, menata kebun/halaman, memotong rumput, menguras kolam ikan atau bak mandi besar, membetulkan atap rumah, ikut kerja bakti lingkungan RW atau menemani mudik ke desa. Sesekali beliau membantuku di halaman rumah, memunguti jambu, alias saya yang memanjat pohonnya, lalu dia yang memunguti buah jambu ketika keranjang yang kusodorkan dari atas telah penuh, sekaligus dialah yang menyapu dedaunan jambu tersebut.

Mang Ujang hanya menerima dengan ikhlas, berapa pun honor yang diberikan orang-orang atas pekerjaan ‘serba-bisa’-nya itu. Kalau ada yang bertanya blak-blakan, “Berapa yah yang harus saya bayar, Mang?” Beliau ini tetap hanya menjawab, “Seikhlasnya aja bu…”. Demikianlah akhirnya para tetangga sering saling tanya terlebih dahulu mengenai honor buat Mang Ujang agar ‘sama-sama enak’, maklumlah, tak sedikit pula yang kurang puas akan hasil pekerjaannya karena permasalahan pendengaran beliau, contohnya kalau disebutkan harus begini-begitu, bagian ‘ini-itu’, mungkin yang ia kerjakan hanya begini, trus tersisa pekerjaan bagian lainnya itu.


.....Lanjutin baca di TKP Oase iman-Eramuslim yah, ;-)

Barokalloh with family, Selamat bersiap-siap ramadhan yah... :-) salam ukhuwah!

Monday, July 18, 2011

Terpeleset Makna



Sudah sepuluh tahun lebih, usia sudah bertambah, tapi soal “memelestkan makna kata” masih tak berubah juga, itulah ciri khas teman SMU-ku, sebut saja Fulanah. Sebenarnya ia ramah, pandai bergaul dengan siapa saja. Namun pelesetan katanya sering berbau pornoaksi, membuat banyak teman ‘gak enakan’, tak nyaman di dekatnya.

Ada beberapa kalimat yang terdengar islami, tapi dia pergunakan di saat yang tidak tepat. Contohnya saja ketika teman kami kehilangan sandal di kala tarawih di masjid, “Waduh, ikhlaskan aja, yah teman…Innalillahi…”, bisik salah satu teman lainnya, menghibur.

Tapi sahutan si Fulanah lain lagi, “Kamu juga sih, sandal baru koq dipake’ ke sini…? Kan kamu tau bahwa kata pak ustadz ‘tinggalkanlah yang buruk, pertahankan yang bagus…’, jadi pasti ada orang yang ninggalin sandal bututnya nih, dan menukar dengan sandal baru kamu…hehehe”.

Lalu pada saat Fulanah naik motor pakai rok pendek, tiba-tiba roknya tersingkap, dan ada teman yang mengingatkannya, “Kamu jangan doyan nambahin dosa kayak githu donk… panjangin dikit kek kalo’ pake rok, atau pakai celana panjang aja kalau bermotor…”.
Si Fulanah dengan lancar menjawab, “Sapa yang nambah dosa, neng..? Gue malah dapat pahala, yaaah sedekah lah sekali-sekali ini biar orang yang melihat kan cuci mata, segeran dikit githu…”, Astaghfirrulloh…


Sama halnya suatu hari ketika ada ujian di sekolah, pengumuman ujian dadakan, Fulanah dengan entengnya mengatakan kepada teman yang pintar, “Kasihanilah saya… gak belajar nih di bab itu, siapa yang mau nambah pahala dengan menconteki saya jawabannya…?”, idih, aneh tapi nyata, kadang-kadang merinding juga mendengar celotehan Fulanah, banyak kalimatnya harus disensor. Kalau “sukses” menggoda lawan jenis, Fulanah akan bilang “saya harus bersyukur atas karunia cowok ganteng…”, ckckckck.

Di saat ada yang bercanda dengannya, bercakap tentang neraka, “Ih Fulanah… ngomong kok gak hati-hati sih…? Mau tenggelam di neraka yah…?”, si A nyeletuk.

Dilanjutkan si B ikutan menyindir Fulanah, “Mungkin dia akan jawab begini, ‘gak apa-apa, asyik di Neraka dong, kan ketemu aktor dan artis favourite gue di sana, gak usah capek-capek minta tanda tangan’, hehehe”, hmmm, menohok banget deh sindiran si B, si Fulanah malah membalas ejekan itu dengan menjulurkan lidah dan menjambak rambut si B.

Silakan lanjutkan di link Oase Iman-Eramuslim berikut yah, :-)
Waspadai terpeleset makna, duhai teman-teman...
Salam ukhuwah...

Tuesday, July 5, 2011

Pelindung Terbaik Adalah Allah SWT

parents day 2011




Dari tempatku berdiri ketika membersihkan peralatan makan di dapur, selalu ada pemandangan menarik di luar jendela.

Kadang-kadang ada bapak berseragam petugas keamanan yang berpatroli dan menempelkan cap di salah satu tiang sebagai tanda bahwa trotoar di depan appartemen kami sudah dilewatinya.

Jika pagi hari sekitar pukul delapan, kerap kali terlihat seorang ibu yang saling melambai tangan dengan dua balitanya, si ibu akan berangkat kerja, sementara dua balitanya dititipkan pada pengasuh.

Ada kalanya pengasuh bayi merupakan tetangga sendiri, namun kebanyakan disini para manula (yang sudah pensiun) memiliki profesi sebagai pengasuh balita jika mereka tak mengasuh cucu sendiri.

Tentu saja anak-anak yang diasuh biasanya senang dengan para nenek/kakek pengasuh mereka karena merasa seperti bersama nenek/kakek sendiri. Cuma sedikit miris hati ini, tak semua anak tersebut bergembira, terlihat dari sorot mata jujur mereka. Kadang-kadang dramatis, si anak menangis atau meronta, memeluk kaki ibunya yang akan berangkat kerja.

Saya yang setiap hari bersua mereka, terkadang melihat para pengasuh tersebut sibuk mengobrol beberapa lama, membiarkan anak-anak sibuk dengan mainan di taman. Padahal, dalam hatiku merasa was-was, anak anak balita masih harus didampingi memainkan perosotan apalagi ayunan dan kursi putar, bahaya dong.

Di lain waktu, nenek pengasuh itu sibuk bercakap di ponselnya selagi si balita asuhannya digoyang-goyangkan di kereta bayi. Lain waktu pula, si nenek sedang mewarnai kukunya sambil selonjoran di kursi taman! Dan yang lebih parah, saat kulihat nenek-nenek itu dengan asyiknya merokok di tengah anak-anak yang ceria bermain.

Saya rasa para mama-papa muda itu lupa, menitipkan anak-anak mereka pada manula disini, berarti menitipkan pada sosok-sosok yang ‘malas baca berita’.
Jelas saja mereka tidak tau bahwa terjadi peningkatan jumlah balita meninggal dunia karena resiko sebagai perokok pasif (akibat orang tua atau pengasuhnya merokok) selain karena kelalaian dalam beraktivitas.


Tapi untuk menitipkan di “rumah asuhan”, selain harus menerima kenyataan pengawasan balita tak bisa se-intensif di rumah sendiri (karena pengasuhnya tak banyak), juga harus antrian panjang saat mendaftar rumah asuhan.

Jadi misalkan anda akan menitipkan anak di rumah asuhan untuk periode 2011, maka anda harus mendaftarkan anak anda di tahun 2009. Saking banyaknya peminat yang ingin menitipkan anaknya, kalau kata teman-teman lokal, banyak wanita eropa memang lebih memilih karirnya di luar rumah dari pada stress mengasuh anak-anak di rumah.

“Anak-anak tuh tingkahnya banyak kan, seharian bisa mondar-mandir seluruh ruang, main di taman sampai baju kotor, mandi sambil ciprat-ciprat air, makan sambil belepotan, minum bisa tumpah-tumpah, lemari baju diacak-acak, ruangan bisa dibikin jadi kayak kapal pecah, dan lain sebagainya…”, rasanya kalimat itu memang sering membuat kita mengangguk-angguk. Dan memang cara itulah sebagai bentuk kreativitas anak-anak, toh...

...
Hmmm, lanjutkan bacanya di link Oase Iman -Eramuslim berikut yah... :-), salam ukhuwah dari Krakow, teman-teman, syukron jazzakumulloh khoiru jazza atas kunjungannya (^-^)