Adalah Aci, anak ‘orang gedongan’ ibu kota, bukan anak tunggal tapi punya orang tua yang banyak uang, sehingga Aci dan ketiga saudara kandungnya sangat berkecukupan. Mama mereka tidak bekerja di kantor seperti sang papa yang pengusaha, namun mama super sibuk karena bisnisnya milyaran, ada bisnis berlian juga, lho…Sejak bayi, Aci dan ketiga saudaranya dibelikan banyak sekali mainan ‘branded’, mulai kasur yang goyang-goyang, baby-carriage, stroller yang satu setnya ada 5 tempat duduk, instrument-set, botol-botol susu sekian lusin yang BPA-free, bedding set dengan seprai dan bantal keren nan empuk, kolam renang bayi, kursi+meja makan set buat bayi, mainan olahraga basket dan volley buat bayi, dan setumpuk fasilitas lainnya yang ditempatkan di ruang penyimpan khusus mainan mereka, ruangan itu bahkan lebih besar dari kamar tidur Aci sendiri.
Saat berusia sekolah, Aci berkenalan dengan anak Mbah Jah, pembantu part-time di rumahnya. Mereka memiliki beberapa pembantu di dalam rumah, kebetulan Mbah Jah diberi tugas khusus memasak dan merapikan kamar-kamar tidur. Sebut saja Uci, anak mbah Jah ini sebaya dengan Aci. Baju-baju bekas yang tak lagi dipakai Aci, sering diberikan kepada Uci oleh mama Aci. Demikian pula sepatu bekas, mainan-mainan lama, semuanya masih layak pakai, Uci pun senang sekali dan sangat berterima kasih. Namun Aci merasa sedikit heran tatkala melihat Uci lebih menyukai mainan-mainan sederhana kepunyaannya. Uci punya bantal bola dengan sulaman yang lucu, ada mobilan terbuat dari sisa potongan kayu dihias cat sederhana, ada koleksi buku bergambar dan kliping koran bergambar macam-macam mainan, serta beberapa benda unik lainnya, origami, dll yang tidak dimiliki Aci.
Ternyata semua keunikan mainan Uci dikarenakan benda-benda itu adalah kerajinan tangan sendiri, ‘hand-made’ yang dibuat oleh Uci dan ayah ibunya bersama-sama. Dan di suatu hari, Uci pun menghadiahkan Aci sebuah pigura sederhana dengan gambar pemandangan indah serta terpajang foto ukuran kecil-wajah Aci yang imut. Aci sangat gembira, meskipun pigura lain dalam rumahnya merupakan benda-benda mahal berukir berbagai hiasan. Dalam hati Aci, pigura sederhana buatan Uci adalah hadiah terindah yang terpajang di ruang belajarnya.
Semakin bertambah usia, Aci mulai memahami bahwa semua harta benda pemberian orang tuanya “bukanlah kebahagiaannya”. Ketika masing-masing anak memiliki komputer dan fasilitas lengkap nan tertata di ruang tidur pribadi, ternyata menyebabkan kakak-beradik kurang akrab, sibuk sendiri-sendiri. Istilah ‘berbagi’ kurang dikenal oleh mereka. Tatkala ajang liburan keluarga, kakak-adiknya ramai-ramai ke villa mewah mereka berteman sopir dan pembantu.
Saat lain berwisata, di pusat-pusat mainan anak, semua begitu membosankan karena tiada mama-papanya yang mendampingi, bahkan semua jenis mainan tak menarik lagi, sebab Aci punya beragam mainan yang jauh lebih canggih di rumahnya. Usai pembagian raport pun, sikap mama-papa terbiasa cuek, tak ada motivasi atau nasehat apa pun, tak masalah anak-anaknya mau berprestasi akademik atau tidak, yang penting ‘naik kelas’ lurus-lurus saja alias tidak bandel. Padahal dalam hatinya, Aci mau juga dipeluk-peluk dan di-sun sayang berlama-lama oleh mama-papanya di berbagai kesempatan.
Sekelumit problema masa remaja kakak-beradiknya, serta beragam konflik pun merupakan tambahan pengalaman hidup bagi Aci. Tak mudah mengajak mama-papa mereka bercengkrama, berdiskusi apalagi berbagi cerita dan gundah, karena waktu luang tak pernah tersisa---syukur masih bisa menyempatkan semenit dua menit sarapan bersama.
Baca lanjutannya di link Oase Iman-Eramuslim ❤ saja, yah... :-)
Semoga bermanfaat... Salam ukhuwah dari Krakow (^-^)