Photobucket

Thursday, December 23, 2010

Ibu : Selalu Tercium Aroma Rindu

Assalaamu'alaykumwrwb... tahmid wa sholawat selalu mengiringi hari ini, semoga kualitas kita semakin baik dari hari ke hari, amiin. :-)

Pernah aku berkata bahwa Allah SWT selalu memberikanku apapun yang kuperlukan, semua disediakanNYA untukku, hingga pikiran ini berujar betapa bodohnya jika aku tak mensyukuri karuniaNYA---segala limpahan berkahNYA kepadaku, termasuk sejak aku dalam kandungan hingga detik ini, aku memiliki ibu dan ayah terbaik, yang mengucuri dengan kasih sayang mereka setiap waktu, yang merestui langkahku dan mengiringi dengan do'a-do'a padaNYA sampai aku pula menjadi orang tua seperti mereka...
Alhamdulillahirobbil 'alamiin...


Bahaz Ibnu Hakim, dari ayahnya, dari kakeknya Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku bertanya: Wahai Rasulullah, kepada siapa aku berbuat kebaikan? Beliau bersabda, "Ibumu." Aku bertanya lagi, "Kemudian siapa?" Beliau bersabda, "Ibumu." Aku bertanya lagi, "Kemudian siapa?" Beliau bersabda, "Ibumu." Aku bertanya lagi, "Kemudian siapa?" Beliau bersabda: "Ayahmu, lalu yang lebih dekat, kemudian yang lebih dekat." (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

Hadits itu selalu tertanam dalam hati ini, namun sosok ibu yang mendidikku bukanlah ibu yang 'kege-eran' dengan kalimat indah itu. Beliau selalu menasehati kami untuk bersikap adil dan jujur dalam kegiatan sehari-hari, termasuk saat memposisikan diri berdiskusi di depan ayah dan ibu, tak melulu harus menaati bulat-bulat perintah ayah dan ibu, apalagi jika kami memiliki alasan dengan sudut pandang berbeda—orang tuaku sangat menghargai masukan dan ide dari anak-anaknya.

Jadi, kalimat bahwa "Saya sekarang adalah ibu, yang harus selalu terus belajar tentang kesabaran dan keikhlasan, terutama belajar dari anak-anak sebagai amanah dari Rabbku", bukanlah sebait kata yang baru muncul di era modern ini, melainkan sebuah kalimat yang merupakan warisan turun-temurun, sosok ibuku adalah salah satu ibu yang mewariskan kesejatian resapan makna kalimat itu.

Ibuku tersayang, dulu di usia ke enam tahun, saya menangis terus-terusan, di rumah, di taman, di sekolah, hingga para guru dan teman-teman bertanya ada apa gerangan? Jawabku, "ibuku di rumah sakit, hu..hu...hu...." kenapa saya tidak boleh ikutan berada di rumah sakit, begitu pikirku. Namun ternyata tiga hari dari situ, saya dan kakak-kakakku diajak menengok ibu, namun hanya mengintip dari jendela ruangan, ternyata ibu sehat-sehat, perut gendutnya sudah rata, dan keesokan harinya beliau pulang ke rumah bersama hadiah baru buat kami, yaitu adinda yang jelita. Lucu sekali, dulu saya benar-benar tak mengerti akan hal itu, dan memutuskan untuk mejadi pengamat saja. Kuamati betapa telatennya ibu menimang, mengganti popok, menyusui adik. Dan berarti waktu saya masih bayi, sebegitu pula merepotkan ibu.

Peristiwa bergulir setiap hari, dan ibu selalu ada di sisi ini. Al-Ummu Madrasah (ibu adalah sekolah), benar-benar hal itu telah kualami sendiri. (maafkan jika ada teman yang jadi cemburu akan kebahagiaanku ini), bahkan ibuku sendiri tak mengalami kebersamaan yang lama dengan ibu kandungnya. Nenekku meninggal dunia tatkala ibu masih balita. Dan saya tahu beratnya hari-hari ibu sepeninggal almarhumah, ibu melalui masa-masa penjajahan, juga masa saat komunis berjaya, untungnya pemuda-pemuda kampung beliau sangatlah cinta pada Islam, masih menjaga dan memagari diri dari jeratan paham komunis. Namun di dua kampung sebelahnya, setiap malam ada 'pesta neraka', begitu cerita ibu, laki-laki dan perempuan membuka busana dan menikmati minuman keras. Sehingga orang kampung tersebut tidak diizinkan memasuki kampung ibu.

Lanjutannya baca di TKP-oase iman eramuslim ini yah, friends... :-)
Salam Ukhuwah, barokallohu fiik (^-*)

1 comment:

Anonymous said...

subhanalloh :-)
love this.