Photobucket

Friday, May 6, 2011

Menjaga Hati Nan Tetap Ikhlas



Assalamu'alaykumwrwb... tahmid wa sholawat, walhamdulillah bisa OL lagi, semoga Allah ta'ala senantiasa memberkahi semua aktivitas sehari-hari kita, amiin...

Ehem...

“lho... masak sih ngasihnya cuma segitu...? Apalagi dari luar negeri, masak infaknya kecil amat, sih...?” keluh seseorang yang kusegani itu. “gak pantes deh, memang sih udah gede bagi orang sini, tapi bagusnya double ngasih dananya...” lanjutnya lagi.

Sudah berulang kali topik seperti ini mampir di telingaku. Bahkan kualami sendiri di depan mata, skala prioritas yang biasanya kita tetapkan dalam menyalurkan zakat, infaq atau sedekah, seringkali “dikomplain” oleh pihak yang kita beri, herannya hal ini biasanya terjadi di tanah air.

Bahkan hal yang seperti itu bisa menjadi ajang gossip di mana-mana. Padahal jika berada di negara rantau, saling memberi bukan hanya tradisi muslim, tetanggaku banyak yang non-muslim. Sekeping coklat saja yang diberikan sulungku untuk teman bermainnya membuat mama anak itu berterima kasih berulang kali kepada kami. Juga saat sepotong roti yang ia berikan kepada pak tua pembersih taman, “ketulusan ucapan terima kasih” bersinar di mata bapak tersebut.

Dan yang paling menyedihkan dari isu di negeri kita akan hal ini, ada sikap yang berbeda dari sang penerima dana kepada donaturnya berdasarkan jumlah rupiah yang diberikan. Mungkin kalian pernah mengalami hal ini, dalam kehidupan bersanak-saudara, ataupun lingkungan pertemanan dan relasi. Dan kebanyakan “pembumbu cerita” telah lupa, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah dia berkata dengan perkataan yang baik-baik atau dia berdiam saja.” (HR. Bukhari) dan pada riwayat lain, Rasulullah SAW bersabda, “Kebanyakan dosa anak Adam adalah karena lidahnya.” (HR. Tabrani dan Baihaqi)

Suatu hari ibu Sishy (bukan nama sebenarnya) bercerita kepadaku, “kalau infak buat ustadzahnya, satu orang lima ribu, neng... saya ngasihnya sepuluh ribu atau lima belas ribu, nah... kalau neng ini kan orang berduit, mestinya dua puluh lima ribu-lah pantasnya...” seraya mimik mukanya meyakinkan kalau “hal pantas” yang diungkapkannya adalah pengertian yang tepat.

Sejujurnya, malas meladeni perangai yang seperti ini. Pernah kuungkapkan perihal “pantasnya sedekah seberapa besar”, subjek aneh ini kepada sang kekasih. Suamiku mengutip nasehat, secuil tapi sangat bermakna, “mi... seorang petani yang penghasilannya cuma sejuta perbulan, lalu dia memberikan 500 ribu saat berinfaq tentulah lebih besar nilainya di mata Allah SWT jika dibandingkan seorang milyuner yang memberikan jumlah yang sama, 500 ribu rupiah. Mungkin bagi si milyuner jumlah itu cuma untuk beli kaos kaki, misalnya. Namun, semua orang tidak perlu menilai “pantas atau tidak pantas” jumlah uang itu, apalagi mereka-reka penghasilan seseorang dan membanding-bandingkan. Itu akan mengotori keikhlasan, dan bisa memancing seseorang untuk menyombongkan diri atau malah emosi... Bisa jadi milyuner itu punya pos donasi sendiri di ribuan yayasan atau rumah santunan lainnya, banyak para dermawan yang merahasiakan dana pemberiannya guna menjaga keikhlasan hati...” ujarnya lembut.


Lagi-lagi 'satu' bab Ikhlas kita petik hikmah-Nya, silakan sobat-sobat baca kelanjutannya di link Oase Iman-Eramuslim yang kita sayangi... :-)

Barokalloh always, salam ukhuwah dari Krakow! (^-^)

No comments: