Surabaya Dulu, Gaza Sekarang
/Oleh Shofwan Al-Banna Choiruzzad
Surabaya, 1945
Langit gelap. Bukan oleh awan yang hendak menurunkan hujan. Angkasa dipenuhi pesawat sekutu
yang bergemuruh. Di dalamnya, para serdadu masih menyisakan keangkuhan.
Mereka baru saja menghancurkan pasukan Jepang di Front Pasifik. Dari langit, mereka menebar ancaman: "menyerah, atau hancur".
Beberapa pekan sebelumnya, pengibaran bendera Belanda memicu amarah para perindu
kemerdekaan. Seorang pejuang mencabik warna biru dari bendera Belanda
di Tunjungan, menggemakan pesan bahwa negeri ini tak rela kembali
dijajah. Tentara sekutu menjawab dengan salakan senapan, bersembunyi di
balik alasan "memulihkan perdamaian dan ketertiban". Jiwa-jiwa merdeka
itu berontak. Brigadier Jenderal Mallaby, pimpinan tentara Inggris di Surabaya, terbunuh. Sekutu murka.
Rakyat gelisah.
Surabaya telah lama dikenal sebagai salah satu pusat perlawanan.
Laskar-laskar dari berbagai pesantren dan daerah banyak yang menjadikan
kota ini sebagai markas. Di kota ini pulalah, Cokroaminoto dan Soekarno
muda mendiskusikan cita-cita kemerdekaan.
Suara dari lelaki kurus itu menghapus semua keraguan.
"Saudara-saudara rakyat Surabaya.
Bersiaplah! Keadaan genting.
Tetapi saya peringatkan sekali lagi.
Jangan mulai menembak.
Baru kalau kita ditembak.
Maka kita akan ganti menyerang mereka itu..
Kita tunjukkan bahwa kita itu adalah orang yang benar-benar ingin merdeka.
Dan untuk kita saudara-saudara.
Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka.
Semboyan kita tetap.
Merdeka atau mati.
Dan kita yakin, Saudara-saudara.
Akhirnya, pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita.
Sebab Allah selalu berada di pihak yang benar.
Percayalah Saudara-saudara!
Tuhan akan melindungi kita sekalian.
Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!
Merdeka!"
Peristiwa 10
November 1945 di Surabaya itu akan terus dikenang sebagai tonggak
kemerdekaan Indonesia. Semua yang mengaku mencintai negeri ini tidak
layak untuk menjadikan peristiwa itu berdebu di pojokan sejarah.
***
Gaza, peralihan tahun 2008-2009
Kota padat berpenduduk sekitar 1,5 juta orang –mayoritas pengungsi akibat
pengusiran biadab Israel sejak tahun 1948, 1967, dan ekspansi ilegal
pemukiman yahudi yang tak pernah menghormati perjanjian yang dibuatnya
sendiri- itu mencekam. Sejak 27 Desember 2008, pesawat-pesawat Israel
yang dilengkapi dengan bom-bom terbaru kiriman Washington membombardir
kota ini. Ehud Barak, Menteri Pertahanan Israel, menyatakan bahwa
operasi berjudul "Cast Lead" ini akan memakan waktu lama. Hingga hari
ini, 510 orang telah meninggal dunia dan ribuan luka-luka. Tidak ada
jurnalis diizinkan masuk. Bantuan medis pun kesulitan.
Demonstrasi bergolak dari Jakarta sampai Eropa. Dari Jordania hingga Amerika. Posko
bantuan dibuka di mana-mana, meskipun masih sangat kurang dibandingkan
kebutuhan penduduk Gaza.
***
Hati saya sakit saat ada yang berkata: "Ngapain kita ngurusin Palestina, wong negeri kita saja masih amburadul".
Semoga kita tidak melupakan sejarah bahwa Al-Hajj Amin Al Husaini, Mufti Palestina, adalah orang pertama yang menyiarkan kemerdekaan Indonesia di radio internasional.
Alasan yang sepintas terlihat nasionalis ini adalah pengkhianatan kejam pada
nasionalisme Indonesia itu sendiri. Preambule Undang-undang Dasar 1945
mendeklarasikan dengan jelas perlawanan pada segala bentuk penjajahan.
Soekarno dan Hatta berkali-kali menandaskan bahwa nasionalisme
Indonesia tumbuh di taman kemanusiaan. "Jangan pikirkan hal lain
kecuali Indonesia" adalah logika yang menghina keindonesiaan.
Hati saya lebih sakit lagi saat ada yang mengatakan "Itu kan salah HAMAS sendiri yang
tidak mau damai dan menembakkan roket! Media di Indonesia terlalu
berpihak pada Palestina, nih…gak berimbang!"
Lalu, yang berimbang itu seperti apa? Seperti media massa Barat yang lebih
menyalahkan HAMAS, menyiarkan propaganda Israel bahwa serangan ini
adalah respon dari tindakan HAMAS menyerang Israel, menyalahkan sikap
HAMAS yang memutus gencatan senjata? Sepertinya kita harus menelaah
peringatan Finkelstein, seorang ilmuwan Yahudi, dalam bukunya Beyond Chutzpah: On the Misuse of Anti-Semitism and Abuse of History dan Image and Reality of Israel-Palestinian Conflict. Sejarah
telah dibajak untuk tidak pernah mengkritisi Israel dan media massa pun
tidak bebas dari pembajakan ini. Untuk melihat bias media barat dalam
isu Palestina, silakan buka www.ifamericansknew .org .
Bahkan, menurut saya, media di Indonesia masih terlalu berpihak pada Israel. Tidak ada
yang menyebutkan fakta bahwa pemutusan gencatan bersenjata oleh HAMAS
itu didahului oleh surat protes gerakan perlawanan itu atas terbunuhnya
4 orang petani di Gaza oleh tentara Israel. Tidak ada yang mengingatkan
bahwa Israel terus melanggar perjanjian damai yang disepakatinya
sendiri dengan membiarkan pemukiman ilegal terus tumbuh. Kita juga tak
boleh lupa dengan tembok pemisah apartheid Israel yang memutus akses
rakyat Palestina pada kebutuhan vital kehidupan. Belum lagi blokade
Gaza yang lebih kejam dari Blokade Berlin pada masa Perang Dingin.
"Itu kan salah HAMAS sendiri yang tidak mau damai…"
Sampaikan pernyataan itu pada Bung Tomo dan para pendiri negeri ini.
Alhamdulillah, para pendiri negeri ini menolak iming-iming perdamaian
palsu di bawah ketiak Ratu Belanda. Soekarno bahkan menantang: "Ini
dadaku, mana dadamu!"
Kalau kita menggunakan logika yang sama, berarti kita mendukung Agresi Militer
Belanda pada tahun 1948. "Itu kan salah para pejuang kemerdekaan
Indonesia yang tidak mau damai!"
Tidak banyak yang mengingatkan bahwa Israel berdiri dengan berkubang darah pembersihan
etnis yang menghalalkan pembantaian dan pengusiran terhadap penduduk
asli Palestina (Ilan Pappe:The Ethnic Cleansing of Palestine).
Komunitas Yahudi yang hidup dalam perdamaian di bawah Khilafah
Utsmaniyah tiba-tiba dikejutkan oleh kedatangan saudara-saudara mereka
yang mengungsi dari kebiadaban Eropa dan membawa ide rasis radikal
untuk mendirikan Israel (Amy Dockser Marcus, Jerusalem 1913).
Bayangkan, komunitas yahudi saat itu yang sekecil komunitas muslim di
Swedia saat ini tiba-tiba menuntut Negara sendiri dengan luas wilayah
yang melebihi luas wilayah penduduk aslinya. Kalau muslim di Swedia
tiba-tiba menuntut mendirikan Negara Islam, mereka pasti segera dicokok dan dilabeli teroris.
Memori pembantaian ini dihapus dari sejarah dunia dan dari kesadaran rakyat Israel. Pada
saat yang bersamaan, kenangan pahit ini terus hidup di antara rakyat
Palestina.. Maka, sangat sulit bagi orang Palestina untuk menerima
perdamaian yang tidak pernah berpihak pada mereka, lha wong keberadaan Israel saja tidak legal! Wajar jika popularitas HAMAS semakin lama justru semakin meningkat..
Indonesia saat itu tegas tidak mengakui Israel karena melihat fakta ini. Sayang, kini
banyak yang sudah lupa. Banyak yang terjebak dalam narasi fiktif
"Israel yang cinta damai terancam keberadaannya oleh HAMAS yang
ekstrimis yang tidak mau damai". (Kebohongan besar Israel pada dunia!!!)
Kalaupun kita harus menerima fakta bahwa berdasarkan hukum rimba Israel itu eksis, tidak
berarti bahwa kita berhak menyalahkan mereka yang menghendaki
perdamaian sejati yang lahir dari kemerdekaan. Saya mendukung proses
perdamaian, tapi harus dengan dialog yang adil dan terbuka yang
melibatkan HAMAS sebagai kekuatan riil di Timur Tengah. Tidak sekedar
perjanjian sepihak yang dibuat AS dan Israel lalu dipaksakan pada Palestina.
Kemanusiaan. Keindonesiaan. Islam. Ketiganya memaksa saya berpihak pada yang lemah dan tertindas.
"If you stand for nothing, you will fall for anything"
Malcolm X.
>>> Subhanallah, artikel ini cantik sekali, penulisnya mengingatkan kita untuk selalu ingat realita sesungguhnya, untuk tidak ragu-ragu melangkah dan mendukung perjuangan saudara-saudara kita yg tertindas, serta untuk tidak menjadi 'kacang yg lupa pada kulitnya'. :-)
Thursday, January 8, 2009
Surabaya Dulu, Gaza Sekarang
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment