gambar kuburan diambil dari gulungan si google
Dia telah mengingatkan kita dalam kitab-Nya yang sempurna bahwa tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati, bila ayat tersebut terdengar di telinga atau dibaca oleh lidah kita sendiri, hati nan tunduk pada-Nya pasti merasa bergetar hebat.
Ramadhan awal tahun ini diiringi berita indah akan kelahiran bayi-bayi lucu para sahabatku. Semoga keberkahan Allah ta’ala mengiringi para bayi suci tersebut, amiin.
Dan hentakan di dada begitu kerasnya tatkala kubaca berita tentang kematian seorang teman, sangat muda usianya, beserta meninggalnya dua orang bapak yang merupakan orang tua dari sahabat nun jauh di negera lain. Padahal, kontak dengan teman itu hanya via email karena satu komunitas wanita Indonesia di luar negeri, dan bapak-bapak yang telah pergi jauh ke alam lain tersebut memang belum pernah bertatap muka langsung denganku, paling-paling anaknya menunjukkan “Ini fotoku bersama ayah…”, sebatas itu.
Namun tatkala kematian, berita bahwa mereka sudah ‘duluan singgah’ ke alam barzah, sontak mendebarkan dan membuat air mataku bercucuran, Innalillahi wa inna ‘ilaihi roji’uun… Sangat mungkin hal ini disebabkan hamba yang penuh dosa ini sudah menyadari akan ‘antrian panjang’ yang makin dekat.
Ketika ‘stress’ melanda jiwa Peter, sebut saja begitu, selalu dia bilang, “Papaku meninggal tiba-tiba… Aku tidak tau harus ngapain di dunia ini…”, gara-gara Peter memang cuma tinggal berduaan dengan papanya seusai nenek mendahului mereka. Papanya yang (dikira) selalu sehat, mendadak memperoleh serangan semacam sempitnya pembuluh darah dan jalan edar saluran pernafasan, hanya lima menit peristiwa terjadi usai meeting dengan relasi bisnisnya.
Peter bahkan sedang bertugas di tempat lain ketika papanya menghembuskan nafas terakhir. Dan sang papa meninggalkan seabrek-abrek urusan perusahaannya yang mana hanya beliau saja yang tau seluk beluk bisnis tersebut, begitu beratnya hari-hari dirasakan Peter, sampai suasana berkabungnya memakan waktu dua tahun lebih.
Lain lagi seorang sohib masa kecilku, ia berucap, “Sejak kepergian mamaku itu, aku menyadari bahwa kematian bisa saja terjadi mendadak, bayangkan, mama dan aku sedang nonton televisi bareng-bareng. Lalu ketika aku ke dapur untuk minum air putih, sekembalinya ke ruang televisi, mamaku sudah tergeletak, tak ada nafasnya dan aku berteriak-teriak sampai tetangga menelepon pihak rumah sakit. Ternyata mamaku meninggal ketika detik itu aku sedang minum di dapur….”, sohibku ini sempat bertahun-tahun lamanya menjadi amat pendiam setelah peristiwa itu.
Hanya Allah SWT yang memiliki kuasa penuh untuk memberikan nafas bagi kehidupan (kejadian pertama kali kita menghirup udara di dunia, siapakah yang bisa mengira-ngira tanggal-jam-menit dan detiknya, kecuali Allah?) atau untuk mengambilnya kembali (siapakah yang dapat menduga tanggal-menit-detiknya kita ‘kehabisan stok rezeki nafas’ alias tutup usia, kecuali hanya Allah ta’ala?).
Peter yang nonmuslim memang benar-benar tidak tahu akan kepastian hari kiamat, akan yaumil hisab kelak. Selama ini, entahlah kenapa ia tidak pernah terpikir bahwa si papa akan meninggal dunia. Setidaknya mungkin ia pikir, meninggalnya masih lama, ‘nunggu punya cucu dan cicit’, setelah pensiun, atau nungguin Peter menikah. Sampai-sampai jenazah si papa diletakkan di rumah selama seminggu lebih sebelum dimakamkan. Sangat berbeda dengan sahabatku Zaynab, ketika papanya meninggal di tanah sunda sedangkan Zaynab tengah melanjutkan kuliah di eropa, ia begitu tabah dan ikhlas. Ia beritahu hal itu kepada teman-temannya agar teman-teman turut mendo’akan keluarganya. Zaynab berurai air mata dalam sujud kepada-Nya, sangat manusiawi, ia bersedih, namun ikhlas menerima ketetapan-Nya. Papanya sesegera mungkin dimakamkan pada hari itu juga.
... Selanjutnya baca di link Oase Iman-Eramuslim sebagaimana biasanya yah :-)
Barokalloh always... Selamat meningkatkan perbekalan, Ramadhan Mubarak! (^-^)
No comments:
Post a Comment