Alhamdulillah, segala puji bagi Allah ta’ala, yang telah menganugerahkan keimanan nan teguh serta keislaman syamil, kesabaran yang berkesinambungan, keistiqamahan dalam menjalankan agama kita yang mulia, atas nikmat-Nya pula terdapat persaudaraan di jalan Allah, yang dengan ikatan itulah kita berjumpa dan berpisah, saling merindukan, saling membantu laiknya satu tubuh yang cedera, maka bagian lain ikut merasakan, saling mendoakan dalam setiap waktu, ketika tangan-tangan kita menengadah saat bermunajat menembus langit dunia, mengetuk pintu harap dan raja’ kita kepada-Nya, segala problema dalam perjalanan dunia tentulah ada solusinya, terlebih lagi kita punya kekokohan ukhuwah islamiyah bertangkai kekuatan do’a.
Namun saudara-saudariku, terkadang kita silap mata atau tersandung dalam pergaulan, sehingga kita bisa lupa bahwa ada banyak ranjau dan jurang yang berbalut kenikmatan, ditawarkan oleh orang-orang bersenyum manis membawa ikatan cinta palsu atau disebabkan bisikan setan yang kian menerobos hawa nafsu. Simaklah beberapa pengalaman berikut, kita petik hikmah-Nya bersama.
Ibu Syam dulu merasa terdesak, keperluan anak-anak sekolah di tahun ajaran baru makin menggunung, kebutuhan sehari-hari kian bertambah, dana pemasukan dan tabungan keluarganya tak mencukupi, apalagi ada anaknya yang harus segera masuk kuliah di kota lain, maka ia memutuskan untuk meminjam dana kepada Wak Nenet. Ketika itu, keadaan keuangan keluarganya benar-benar memerlukan bantuan. Setiap bulan ia membayar sejumlah uang kepada Wak Nenet. Lama, berbulan-bulan, masih saja belum lunas, kadang-kadang bila Wak Nenet menagih ke rumah di saat bu Syam sedang pergi, dana bayaran ke Wak Nenet tersebut dititipkan ke anak bu Syam. Jadi, si anak remajanya yang penasaran akhirnya bertanya, “Bunda, kok utang di Wak Nenet gak selesai-selesai, sih? Kan Bunda membayar terus setiap bulan ?”
Bu Syam akhirnya menjelaskan bahwa yang dibayar setiap bulan itu bukan jumlah utangnya, melainkan bunga-nya. “Otomatis utang ibu memang belum dibayar sama sekali, nak…tiap bulan itu cuma bayar bunga. Nanti kalau bapakmu dapat bonus tahunan dan dana lembur yang besar, barulah bisa melunasi utang di Wak Nenet”, penjelasan Bu Syam.
Setelah mengetahui hal itu, si anak menjadi kesal terhadap Wak Nenet, “Berarti Wak Nenet itu rentenir dong! Jahat sekali…”, keluhnya dalam hati. Ia hitung-hitung dengan sebal, permisalan jika orang tuanya meminjam 3 juta rupiah dengan bunga 10%. Jadi sepuluh persennya itulah yang dibayar ibunya setiap bulan. Uang sepuluh persen itu bahkan bisa mencukupi untuk membeli lauk-pauk keluarga besarnya selama satu minggu-an.
Anak ibu syam suatu hari memenangkan sebuah perlombaan tingkat provinsi, mendapatkan hadiah televisi baru selain piala dan piagam. Teringat utang orang tuanya yang belum juga lunas, ia berkata, “Bunda, televisi baru itu dijual saja. Tolong bunda bayarkan ke Wak Nenet, …bla bla…bla…”, bu Syam terkejut mendengar perkataan anaknya, bangga dan salut, namun sekaligus sedih karena anaknya jadi ikutan tahu keadaan keuangan orang tua. Anaknya mungkin ikut berpikir-pikir akan beratnya beban orang tua, sehingga merasa harus membantu meringankan beban itu. Ibu Syam memberikan nasehat agar anaknya tak lagi memikirkan Wak Nenet. Televisi baru itu malah dijual langsung ke Wak Nenet, namun hanya cukup melunasi sepertiga dari jumlah utang. Dan sejak itu, jika membayarkan bunga pinjaman per-bulannya atas sisa utang, Ibu Syam sembunyi-sembunyi dari sang anak, agar anaknya tak lagi ikut terpikir masalah tersebut.
Selanjutnya, ke TKP- Kisah Eramuslim link berikut yah :-)
Salam Ukhuwah dari Krakow, Ramadhan Mubarak! (^-^)
No comments:
Post a Comment