Allahummansuril Islam wal muslimin... Allahummansur ikhwanna al mujahidin Rohingya, mujahidin fi Gaza wa fi Syria, fi Falistin, fi Mishr, fi Iraq wa fi Afghanistan, fi Kashmir wa fi Pattani... fi kulli makan wa kulli zaman... Aamiin
Bagi para tentara negara, Kita mengatakan secara prinsipnya dari segi niatnya, Allah lebih mengetahui.
Sekiranya mereka gugur, kita mendoakan supaya mereka tergolong di kalangan orang-orang yang syahid di Hari Akhirat kelak. Tetapi apa yang pasti dari segi zahirnya mereka yang telah mati syahid dari segi hukum dunia. Dari segi hukum dunia, orang yang mati syahid di medan perang ada hukum hakamnya yaitu pakaian mereka tidak perlu ditanggalkan, mereka tidak perlu dimandikan, maka tentu saja mereka tidak perlu dikafankan, bahkan tidak wajib untuk dishalatkan, karena mereka ini masuk dalam kategori orang yang mati syahid. Syahid : gugur di medan juang karena memanggul senjata, membela agama Allah SWT.
Mereka juga sepatutnya dikuburkan di tempat mereka gugur (di medan perang), bukan dibawa ke kampung halaman mereka. Ini termasuk sunnah yang disyariatkan dan dituntut bagi orang yang mati syahid di dalam peperangan.
Seperti di dalam hadis Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam, "Maka tidak ada penghalang bagi orang yang mati syahid untuk langsung masuk ke syurga."
Maka kita mendoakan kepada Allah supaya mereka tentara Islam yang berperang tergolong di dalam golongan syahid yang akan masuk ke Syurga.
Oleh itu tidak diwajibkan untuk kita shalat buat mereka, karena tujuan shalat jenazah adalah untuk meminta supaya dia tergolong di dalam golongan ahli Syurga, supaya Allah memudahkan urusannya di Hari Akhirat. Tetapi jelas bahwa orang yang mati syahid sudah menjangkauinya dan dari sudut Syarak dia sudah tidak perlu disholatkan lagi.
Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi sallallahu 'alaihi wasallam terhadap para Sahabat yang gugur syahid dalam Perang Uhud di mana Jabir r.a. mengatakan bahwa “Rasulullah sallalahu 'alaihi wasallam memerintahkan agar mereka dikuburkan bersama darah mereka tanpa dimandikan atau disholatkan” (Riwayat Bukhari).
Ini karena sebagaimana dalam hadits lain, di Akhirat kelak golongan syuhada ini akan dibangkitkan dengan bekas-bekas luka mereka di mana darah mereka terus mengalir berwarna merah tetapi baunya haruman kasturi.
Tetapi ini tidak menafikan bahwa dibolehkan juga untuk shalat jenazah buat mereka (keluarga dan masyarakat di kampung halaman ingin menyolatkannya, tak apa...), cuma hukumnya tidak wajib. Hanya sekadar dibolehkan karena Rasulullahsallallahu ‘alaihi wasallam juga telah shalat jenazah untuk sebagian kecil para sahabat yang mati syahid seperti yang kita lihat di dalam peristiwa peperangan Uhud di mana Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam telah shalat saat meninggalnya bapak saudaranya, Hamzah. Tetapi Baginda SAW tidak shalat jenazah buat sahabat-sahabatnya yang lain yang (insya Allah) mati syahid.
Larangan meletakkan gelaran ‘Asy-Syahid’
Perlu juga diingatkan bahwa adalah menjadi prinsip Ahli Sunnah wal Jama’ah supaya tidak meletakkan gelaran ‘Asy-Syahid’ Fulan bin Fulan. Perlu kita bedakan antara kita mendoakan mereka mati syahid dan kita menguruskan jenazah mereka sebagai orang yang mati syahid, dengan kita meletakkan gelaran Asy-Syahid di depan nama mereka.
Perbuatan pertama yaitu mendoakan dan menguruskan jenazah mereka sebagai orang yang mati syahid; ini adalah di atas dasar kita menghukum mereka secara zahir, dan kita meminta izin Allah SWT supaya mereka benar-benar tergolong di kalangan orang yang mati syahid.
Adapun perbuatan kita meletakkan gelaran Asy-Syahid di depan nama mereka, ini adalah satu perbuatan yang berbeda. Seolah-olah kita telah mendahului hukum dan takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seolah-olah kita yang menentukan 'hebatnya amalan' bagi mereka masuk Syurga.
Walaupun kita melihat bahwa masalah ini mungkin sedikit sensitif, tetapi hal ini perlu juga dijelaskan. Kita memohon supaya Allah menggolongkan mereka sebagai golongan Syahid, tetapi dalam masa yang sama tidak membolehkan kita meletakkan gelaran itu karena perbuatan ini hanya dibolehkan jika kita mengetahuinya secara pasti, dan hal ini hanya dapat diketahui dengan wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan seperti yang kita ketahui, kita sudah tidak ada wahyu setelah kewafatan Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam.
Hanya mereka yang disebutkan oleh Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam bahwa mereka tergolong dalam ahli Syurga karena gugur di medan perang yang boleh kita kategorikan sebagai Asy-Syahid seperti nama Saidina Hamzah dan sahabat-sahabat yang lain. Bagi mereka, boleh kita katakan misalnya Asy-Syahid Hamzah bin Abdul Muthalib.
Adapun pada zaman sekarang, kita tidak boleh menyatakan secara pasti, karena perbuatan itu jelas seolah-olah kita mendahului takdir dan hukum Allah dengan kita pula yang menetapkan bahwa dia mati syahid yang membawa maksud secara pasti bahwa dia akan masuk Syurga.
Penetapan Syurga dan Neraka hanya milik Allah ta'ala, hanya boleh ditentukan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bagi kita, kita hanya memohon kepada Allah ta'ala supaya mereka tergolong di dalam golongan yang mati syahid, insyaAllah.
Adapun jenazah-jenazah orang-orang Bughat (pemberontak) atau Pihak musuh ini, perlu juga kita bersikap adil dan jangan kita melampaui batas. Syariat sentiasa menuntut kita sebagai orang Islam supaya berlaku adil dan bertindak di atas garis panduan Syarak.
Maka apa yang pasti, sekiranya mereka adalah orang Islam, perbuatan mereka melakukan pemberontakan, mengangkat senjata kepada saudara sesama Islam mereka, tidak menjadikan mereka kafir. Perbuatan mereka salah, tetapi tidak sampai mereka jatuh hukum kafir.
Oleh karena itu, mayat-mayat mereka hendaklah diuruskan seperti jenazah-jenazah orang Islam yang lain; yang ada kehormatan dan ada hukum hakam yang perlu dijalankan dan perlu dijaga. Kita perlu berlaku adil. Kita tidak setuju dengan apa yang mereka lakukan, tetapi hal ini tidak menafikan ke-Islaman mereka bahwa mereka tetap saudara se-Islam kita yang perlu dijaga, yang wajib dimandikan, dikafankan, disholatkan dan dikuburkan dengan ahsan.
-----*Beberapa pertanyaan tentang urusan jenazah :
- Bolehkah mencukur bulunya (kumis, bulu ketiak misalnya) & memotong kuku jenazah? (Jawab : Boleh, jika terlihat sangat panjang, kotor, sebaiknya kuku dipotong dan dipendekkan kumisnya.)
- Tanya :
Syaikh Muhamad bin Ibrahim bin Abdullatif dan Syaikh Abdul Aziz Al-Anqari ditanya tentang wanita haidh dan wanita nifas jika meninggal, bolehkah jenazahnya dishalatkan di masjid?
Jawab :
Ya, boleh menshalatkan jenazah itu di dalam masjid jika dapat dipastikan bahwa masjid akan terhindar dari noda yang mungkin keluar dari mayat wanita tersebut. Karena hukum-hukum haidh dan nifas tidak berlaku lagi karena kematian itu.
- Tanya : Bagaimana dengan wanita yang haidh, bolehkah memandikan jenazah? (Jawab : Boleh)
- Bolehkah jenazah hanya dilapisi satu lembar kain saat dikafankan, misalnya karena sangat miskin dan tidak ada ahli waris yang menanggung urusannya? (Jawab : Boleh saja, namun kalau dia tidak mampu, bisa mengambil dana baitul mal/ infaq dan sodaqoh dari muslimin lainnya untuk dipergunakan dalam urusan jenazahnya.)
- Siapa yang paling berhak memandikan jenazah seorang lelaki yang telah berkeluarga? (Jawab: istrinya selaku mahram, anak-anaknya, orang tua, saudara-saudara kandungnya... Jika ada 'petugas/sukarelawan tukang memandikan khusus' yang diundang, hendaknya petugas menyampaikan izin yang santun kepada pihak ahli waris tersebut untuk ikut membantu proses menguruskan penyelenggaraan jenazah.)
Yaa Allah biha Yaa Allah Bi khusnil khotimah, aamiin...
Wallahu a’lam.
Semoga kita petik hikmahnya bersama-sama, Barokallohu fiikum! Salam Ukhuwah yah!
wassalamu'alaykum warohmatullohi wabarokatuh...
T : @bidadari_azzam
Note : *Disampaikan di beberapa majelis taklim/sharing tausiyah sisters muslimah di Palembang, Krakow, dan Kuala Lumpur.
No comments:
Post a Comment