Meraup BerkahNya di Setiap Pilihan
Pertemuan dengan seorang teman sholihat membuahkan cengkerama penuh hikmah. Ia bertutur, “Saya gembira sist, setiap bulan, dua atau tiga kali seminggunya, orang tua datang berkunjung, atau kami yang kesana…” padahal jarak tempuh rumahnya dengan rumah orang tua lumayan jauh dan lalin selalu macet, sekitar dua-jam an di luar Jabotabek. “Alhamdulillah, senang sekali tentunya yah, sedangkan hampir setiap minggu kita dapati berita meninggalnya orang tua teman-teman lain…” Masya Allah, antrian kita kian dekat yah, bisikku.
“Kamu masih ingat kan, sist… orang tuaku menjual es lilin dan kue-kue demi kelancaran sekolah anak-anaknya. Kan beda dengan orang tuamu yang di perusahaan minyak, hihihi…” celotehnya lagi.
“Iya, ingat banget… Subhanalloh! Es lilinnya juga pernah masuk ke perutku, hehehe… Eh tapi bapakku sebelum kerja kan kudu menyelesaikan sekolah. Kamu lupa yah, waktu zaman baru-baru merdeka itu, bapakku ‘nyari’ duit sendiri buat bayar sekolah. Beliau juga pernah menyemir sepatu, mencuci mobil orang di jalan raya, dan menjajakan koran… Wajar kan kalau anak-anaknya ketularan semangat dan ketangguhannya, hehehe..” memoriku mengingati perjuangan bapak semasa kecil. “Haah?! Masa’? kamu pernah cerita gak sih?” temanku terkejut.
“Ya…ya….mungkin saya lupa, ih. Ternyata memang semua yang diraih oleh setiap orang, selalu ada perjuangan dan semangat tangguh dalam kerja kerasnya, yah…Ya Allah, subhanalloh…Jadi ingat sama sobat kita yang yatim dan mamanya jualan cabe, tapi anaknya lulus sarjana semua.” tambahnya lagi.
Masih dia menyambung kata, “Dan sekarang saya bingung sekali. Anakku kok pemalas banget, disuruh apa-apa~ogah. Dimintai tolong sedikit, ngomelnya panjang lebar…padahal orang tua dan kakek neneknya punya perjuangan yang gigih, dia sudah diberi keteladanan, diajak-ajak berteman sama anak-anak sholih juga, tapi yah gitu deh…”
“Lho…. Kan anak-anak, jeng. Masih sepuluh tahun, yah? Lagi usianya aja barangkali… Terus-terusan aja diajak-ajak kerja sama, jangan disuruh-suruh, ‘diajak’ say… “ celetukku seraya bercanda.
“Bukan gitu say… Kalau ada tamu atau teman-teman, anakku sikapnya buruk, malu deh. Tetapi saya lihat anak-anakmu meskipun gak bisa diam, kejar-kejaran, bisa nurut dan baik-baik deh, gak ngomel-ngomel kalau ortunya minta tolong atau ngingeti sesuatu…kamu pakai jurus apa say?” ia tertawa. Aku juga tertawa, “Mana ada yang instant. Anak-anakku juga sering ngomel, Si sulung bisa banyak complain. Aku berusaha sabar aja, kalau ngobrol sama anak, harus siap mendengarkan. Sama-sama mendengarkan, ajak untuk sama-sama saling mengingatkan. Buat kesepakatan gitu, ‘janjian yok, kita ngingetin kalau pas kamu atau ummi salah, …’ bikin kesepakatan cara ngingetinnya, apalagi pas di depan umum…”
Percakapan panjang, ditutup sebuah penyesalan dari teman sholihat ini. Beliau adalah temanku yang kreatif, pebisnis aktif dan jujur, disukai banyak pelanggan. Beberapa tahun bisnis yang dijalankan, rupiah mengalir deras, omset mencapai ratusan juta. Karena benar-benar sibuk, bayi dititipkannya di tetangga jauh, duh, padahal rumahnya dekat masjid. Sang bayi dititipkan di ‘day care’ area pasar. Lingkungan pasar tradisional membesarkan masa balitanya.
Aku turut terkejut ketika si kecil tersebut bisa berkata-kata kotor di usia lima tahun, kosa kata yang kasar dan biasa diucapkan preman. Usia enam tahun-an, dia bisa cerita soal ‘om itu selingkuh…’, tante itu mandul, ‘orang itu bunting tapi gak ada suami’, dan kalimat khas ‘sinetron’ lainnya. Membuat temanku tertelungkup di balik bantal dan banjirlah wajahnya karena air mata.
Tak sampai disitu, kejutan lain hadir. Memasuki usia yang masih muda, masih di bawah 35, namun sang suami ‘terdeteksi’ jantung dengan komplikasi penyakit lainnya. Waduh, temanku kian perih, dan ia berkata, “Aku gak target-targetan lagi, say… kalau waktu bisa diputar ulang, ooh, labanya malah dipakai buat berobat dan harus mulai serius memperbaiki akhlak anakku ini….”
Waduh, dimana kita bisa membeli obat buat memperbaiki akhlak? Innalillahi wa inna ilayhi rojiuun…
“Subhanalloh, aku tetap yakin, kamu dapat melalui semua hal ini, kamu pasti kuat…” aku bersyukur menatap wajahnya yang memang tak pernah pesimis.
Ada lagi yang lebih parah, teman yang sedang menemani anaknya menjalani therapy karena mengidap kanker, sedihnya… Di saat ujian kian menerpa, ia malah mengkhianati kepercayaan banyak rekan bisnisnya. Ia pergunakan dana teman-teman tak hanya untuk pengobatan, itu pun tidak berakad jelas, ‘pinjaman sampai kapan, entah…’ dengan alasan ‘sayang anak’. Ia membeli apa-apa yang anak inginkan, bahkan game-game terbaru yang tidak mendidik, “Takut kehilangan” katanya. Alhasil, hidup sederhana ditinggalkannya, mencari celah pinjaman dana kesana-kemari dengan menggunakan “alasan kanker si anak”.
Buntutnya, suatu hari ‘seolah’ terjadi kericuhan di antara kaum ibu tatkala corak permasalahan anak menjadi makin beragam, ibu yang banyak job di luar rumah vs ibu yang full job di dalam rumah. Ibu-luar rumah berkata, “Makanya kerja, bu! Punya penghasilan sendiri, donk! Jangan mengandalkan suami, jangan nitip anak sembarangan… Pakai baby-sitter yang oke atau titip ke neneknya nih seperti saya…”
Sedangkan ibu-dalam rumah berujar, “Lho, penghasilan kita juga banyak bu! Gak mengandalkan suami, rekening saya mungkin lebih besar dari pada anda. Anak-anak diurus sendiri, bisnis jalan lancar. Gak mau deh nanti ‘anak jadi anaknya nenek atau anaknya baby-sitter’, ogah bu…Apalagi kalau anaknya jadi doyan narkoba…” Ibu-ibu lain pun bersuara. “Eh, siapa bilang ibu yang kerja di luar, gak bisa punya anak sholeh…? Anak saya lulusan pesantren lho, kuliah di Mesir, masuk pesantren jadinya hafidz qur’an…”
“Saya juga kerja di luar dan banyak bisnis, anak-anak happy saja. Tetanggaku yang ibu di dalam rumah, malah anaknya sudah tau video porno. Malah anak-anaknya kelihatan kurus, lusuh, gak happy, dan dijauhi teman-temannya…Ibunya banyak utang…” Pihak lainnya yang melihat ada kesempatan saat ibu-full job rumah kian disindir, berkata, “Makanya ikut bisnis saya aja bu… Sambil ngurusin anak, gak masalah, tinggal pencet BB, FB, WA, asyik deh bisnisku… Jadi gak perlu ngutang lagi, yakin deh….Kasih tau tetangganya itu, bu…”
... Sambungannya baca langsung di link-Islampos pada judul tersebut di atas, yah dear... :-)
Sebaiknya kita azzamkan bahwa hasil pertemuan, diskusi dan segala aktivitas yang kita lakukan adalah upaya untuk senantiasa meraup berkahNya. Semua makhlukNya diciptakan dengan tujuan manfaat, begitu pun diri tiap individu, masing-masing kita adalah anugerah bagi yang lainnya. Kita perlu saling mengingatkan, menasehati, serta mendukung kebaikan, bukan saling berkomentar dengan kesan ujub, menghina, apalagi berbuah pertengkaran dan percakapan sinis. Kadang setan memasuki diri melalui pintu kecongkakan dikarenakan seseorang dipuji kepandaian, sabda Nabi SAW, “Bencana ilmu adalah kecongkakan.” (HR. Baihaqi) Demikian pula dalam ayatNya “…Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong.” (QS. An-Nahl:23)
Ketika sosok-sosok mulia para ibu kian banyak berbagi ilmu, berbagi semangat serta nasehat, mari kita bergembira dengan tambahan ilmu dan pencerahan yang didapat. Namun, tetaplah harus kritis dan menyadari bahwa pegangan kita hanya bertumpu pada dua wasiat ; Qur’an dan sunnah rasulNya. Pilihan apa pun di setiap pijakan langkah, harus selalu berlandaskan kedua pedoman kita ini, sejalan dengan cita ukhrowi nan selamat.
Ujian yang terjadi di setiap jalan pilihan tak perlu dihindari, apalagi jika fase peranan kita sudah menjadi orang tua, kita harus hadapi problema dan berusaha menemukan solusi tepat, tentu hal ini menyebabkan diri kian matang dalam bersikap. Anak-anak pun memerhatikan dan meniru gaya penyelesaian problema orang tuanya. Ucapkan terus terang kepada anak-anak bahwa ibu dan ayah juga pernah keliru, pernah salah, namun bisa memperbaiki diri. Sehingga anak-anak juga punya rasa optimis dan tidak malu saat diajak berbenah diri.
Barokallohu fiikum , semoga kita senantiasa menularkan manfaat,
Tetap saling do'a yah...^^ Semoga tetap bisa silaturrahim via twitter @bidadari_azzam ^^
Wassalamu'alaykumWrwb... :-)