Photobucket

Friday, February 25, 2011

Buat Apa Bersikap Sombong ? (bag. 2)



Assalamu'alaykum Wrwb...

Berbagi kisah, semoga bermanfaat ❤

(bagian 1-nya di sini yah...)

Sungguh sedih bila mengenang seorang Fulan yang sakit hati akibat kesombongan orang tuanya, padahal Fulan adalah anak sholeh yang akhlaqnya baik, cerdas dan selalu ingat akan jasa-jasa ibu bapaknya. Namun sang ibu yang wanita karir dan dalam keluarga mengambil alih “pimpinan” gara-gara si suami pengangguran, begitu gegabah dengan berteriak-teriak, “Jangan sembarangan kamu mau nikah usia muda, kalau bukan karena mama, kamu bisa jadi anak jalanan tau! Kasih dulu jatah gaji kamu ke mama, itu namanya anak berbakti! Atau tidak usah panggil Saya mama lagi! Anak bodoh!”, si Fulan bagaikan merasa banyak paku dilempar ke dalam dadanya, hingga biarpun paku itu terlepas, luka dan rasa sakitnya masih terasa. Ia hanya terdiam, dan kesombongan kalimat ibunya malah membuat sang ibu terhina di mata anak-anak dan orang lain.

Si Fulan berpikir dan merenung, “padahal Saya tetap sayang pada mamaku itu, walaupun dia tidak menyusuiku, walaupun dia menitipkanku pada budhe, nenek, dan pembantu sejak bayi, walaupun dulu tiap hari tangisku mengiringinya karena ingin ikut ke kantor. Juga walaupun jika diriku menginginkan sesuatu, Saya harus menabung dengan keras untuk membeli sendiri, bahkan tabungan itu sering diambil mamaku untuk keperluan lainnya. Walaupun tiap hari kata-katanya ketus terhadap papa dan anak-anak, kami tetap menyayanginya. Walaupun saat saya diberi hidayah Allah SWT, dan menasehatinya, lalu ia patahkan nasehat itu dengan mengatakan bahwa Saya ‘anak kemarin sore’, harus ngasih duit dulu yang banyak buat ortu, baru boleh ngasih nasehat... Walaupun hubunganku dengan mama jadi lucu begitu, tapi biarlah Allah SWT saja Yang Maha Tahu, Saya sudah berusaha menjadi anak yang baik, namun di matanya tetap tidak baik karena ukuran ‘baik’ baginya adalah berbeda”, curhatan itu menjadikanku berkaca diri, memandang anak-anak kandung sendiri, lalu berbisik dalam hati, “Anak-anakku, Ummi tak akan seperti mamanya Fulan. Kalian adalah anak-anak titipan Alah SWT, kalian besar dan sukses kelak atas rahmat dan kebesaran Allah SWT, bukan karena ummi atau abi. Jika kalian pandai mencari ilmu dan menata keimanan, lalu beramal sholeh, itu sudah amat sangat membahagiakanku. Kadar kesuksesan kalian bukanlah dari jumlah nominal harta segudang atau segunung emas permata yang didapat, melainkan hati kalian yang berhasil tawadhu’ dan memahami diri sebagai hambaNYA yang sedang mencari bekal akhirat. Ya Allah, kuatkan hati ini untuk senantiasa istiqomah di jalan-Mu, amiin.”


Masih kuingat kesombongan seorang om, sebut saja Om Waswis dan istrinya, Si Tante Wiswus. Dulu Om Waswis menampar seorang ikhwan di jalan raya, lalu mengambil kunci motor ikhwan tersebut, gara-gara motor butut si ikhwan membuat lecet sisi depan mobil Om Waswis. Sewaktu mereka berlawanan arah melalui tikungan, kecelakaan kecil itu terjadi. Sampai sekarang tak tahu kejadian selanjutnya, terakhir mamandaku melihat si ikhwan menyeret motornya sambil menahan rasa sakit di kakinya, terseok-seok. Padahal mobil Si Om cuma lecet sedikit doang, tak ada pengaruh terhadap laju mobil di jalan raya. (Semoga saja si ikhwan pengendara motor itu diberikan kesehatan dan berkahNya selalu, amiin).

Sewaktu saya dan suami memperjuangkan hari H pernikahan 9 tahun lalu, Om Waswis “nyemprot” dengan lidahnya yang tajam, “Ulang lagi, pikir-pikir lagi donk! Nyebut-nyebut jihad dalam rumah tangga, anak bau kencur kayak kamu ini, Saya ini naik haji udah dua kali! Jihad tuh!”, lalu Tante Wiswus menambahi, “Ri... ri... Bego banget sih! Mau kawin ?! suami loe guru privat, kakak-kakak eloe guru-guru doank, miskin mulu takdir buat kalian yah! Cari noh yang kayak Om kamu ini, kerjanya di Bank! Bego koq dipiara!,” glek! Bayangkan, seorang manusia bisa sesombong itu, ia menganggap pernikahan di usia muda adalah kebodohan, sedangkan pergaulan bebas, married by accident seperti dirinya adalah hal yang lumrah! Naudzubillahi minzaliik, dan kata-kata itu dilontarkan di depan banyak orang. Al-Kibru (kesombongan) adalah “Menolak kebenaran dan merendahkan manusia”. Rasulullah SAW bersabda, “Cukuplah seseorang dikatakan berbuat jahat jika ia menghina saudaranya sesama muslim.” (HR. Muslim)

... Sebaiknya lanjutkan membacanya di Kisah-Eramuslim link berikut yah sobat-sobat...
Keep optimis, salam ukhuwah ❤

Saturday, February 19, 2011

Pertolongan Allah Setiap Saat

pic : salju tebal di Krakow, suhu ekstrim hingga air sungai membeku

pic : Abang di Berlin, des'10

Allahu Akbar!

Temanku menulis sms singkat, “wah ada bom di bandara Russia, untunglah tidak jadi kesana…”, sekilas nampaknya sederhana. Sama seperti rasa syukurku, “Alhamdulillah, training kemarin ke swiss, bukan ke Russia”, ada skenario penyelamatan dariNYA agar tidak menjadi korban dalam peristiwa tersebut, puluhan orang telah ditemukan tewas dan ratusan lainnya luka-luka. Kami menonton berita dan membaca surat kabar kota beberapa hari ini tentang hal itu.

Ada-ada saja hal lain yang kalau kita renungkan, disitulah letak “waktu yang tepat” saat Allah SWT memiliki ketetapan dalam menyelamatkan kita. Saat kami ke Alexander Platz, Berlin beberapa bulan lalu, tiba-tiba di depanku ada orang berkursi roda yang menghalangi jalan, dia lamban sekali, Saya dan anak-anak kedinginan, makanya ingin jalan cepat-cepat agar segera tiba di hotel. Namun karena terhalang kursi rodanya itu, akhirnya lift penuh, kami antrian menanti lift naik kembali. Satu, dua, lima menit berlalu, lift itu tak bergerak, tidak bisa turun, tidak bisa terbuka pula.

Oalah, ternyata seisi lift berteriak-teriak (dan kami yang di luar tak mendengarnya), lift itu stuck, kasian, setengah jam lebih mereka di dalam lift. Sinyal gawat daruratnya tak berfungsi. Suamiku berlari menuju pasukan berseragam dan dengan bahasa Jerman yang sedikit campur bahasa Inggris, ia jelaskan bahwa ada lift yang tak berfungsi sementara sekitar tujuh orang terperangkap di dalamnya. Karena salju masih turun lebat, jadi tim keamanan itu memang sulit dicari, tidak duduk di posko informasi misalnya, dan gerakan mereka juga agak lambat karena ramainya masyarakat dan turis yang sedang berada di area itu.

Selanjutnya, teruskan baca di TKP-oase iman Eramuslim seperti biasa yah sobat... ;-)

Keep optimis, salam ukhuwah, barokalloh with family always... (^-^)

Friday, February 18, 2011

Secuil Kata (Amburadul Tapi Bermakna) :-D









Ada satu hal lucu tentang dia
Jika aku sedang kesal, ngambek,
dia diam saja
Jika aku bad-mood,
dia diam saja
Jika aku menutup muka dengan selimut, atau ngomel-ngomel,
dia diam saja

Ada satu hal lucu tentang dia
Sikapnya tetap lembut saat aku naik darah
Namun ada satu hal lucu tercatat dalam kalbuku
Jika aku tak tersenyum, terutama kala melepasnya meski hanya sesaat
Maka dia menangis
Jika ukiran tulus itu kian sirna,
dia makin tersedu

Ternyata senyumku begitu berharga baginya
Pelajaran indah dariMU tentang dalamnya makna cinta
Salut padaMU, Robbku...

(krk, 18 feb 2011. 10.15am)

Friday, February 11, 2011

Renunganku : Tari Dan Emak Salamah

“Saya sudah sangat kesal dengan dik Tari ini, mbak… gimana dong mbak? Mbak kebayang khan perasaanku ?”, keluh Kak Sari padaku.

Saya tertunduk lesu, rasanya Saya masih memiliki iman yang rapuh, tak punya kekuasaan apa-apa untuk mengubah prilaku Tari, seorang saudari yang hingga usianya sudah 22 tahun, tingkah lakunya masih seperti anak Es-Em-Pe. Cara bermanjaannya sudah berlebihan, dibangunkan subuh untuk sholat begitu sulit. Saat dinasehati baik-baik oleh orang tua dan saudara-saudaranya, ia dengan mudah melempar jawaban sesuka hati, yang terkadang sangat menyakitkan pendengarnya. Sudah setahun lebih bekerja di tempat yang baru, sebuah cafĂ©&restoran besar di kota metropolitan, namun tetap tak bisa mengatur waktu dengan baik, orang tua berharap ia bisa seperti kakak-kakaknya yang belajar mengelola jadwal harian, memiliki manajement waktu dengan baik, tidak asal “hilang dan muncul” di rumah tanpa diketahui keluar “maennya” dimana. Dan di off-day kerja, ia pergunakan untuk “pacaran time”, bukannya membantu Sang Emak di tokonya, atau merapikan rumah, atau membantu bapak membersihkan motor yang tiap hari bertugas mengantarnya ke tempat kerja.

Dan Sang Emak makin mengelus dada, “pacaran timenya” bisa berlanjut mengobrol di rumah hingga larut malam, padahal anak-anaknya yang lain tak ada kamus “pacaran” dalam hidup mereka. Semua menikah dengan perkenalan singkat dan tidak memiliki sejarah “pacaran ala Tari”, apakah ciri modernisasi itu begini yah, pikir Emak. Makanya Emak lebih banyak diam dan mengalah kepada si bungsu Tari, takut kalau malah dik Tari sakit hati dan tersinggung dengan perkataan emak yang sebegitu sering diulang-ulang. Lantas Saya berpikir, apakah sudah semakin dekat kiamat, nih yah, kok sekarang malah ortu jadi “berasa takut” menasehati anaknya. Astaghfirrulloh… :-((


Lanjutannya baca di oase iman-eramuslim sini yah sobat-sobat... :-)

pic : anak-anak sholeh sedang bermain, ntar kalo' udah gede, jangan seperti Tari yah sayang... amiin.

Salam Ukhuwah dari Krakow, Barokalloh with family :-)