Photobucket

Thursday, January 5, 2012

Usah Merisaukan Rezeki (2)





Setelah urusan administrasi mobil tersebut beres, Mister menjemput Istrinya di Centrum, dan mereka berpamitan dengan situasi yang kurang mengenakkan. “Padahal, Suamiku itu mau beli celana baru di Krakow, tapi milihnya lama banget, karena memang belum menemukan celana yang diinginkannya. Eh, uangnya malah lenyap disuruh bayar tilang. Kelamaan sih nyimpennya yah, hehehe,” ujar teman yang merupakan Istri dari Si Mister.

Kami yang jauh lebih muda darinya hanya bisa berucap bahwa pembelajaran diri dan penataan emosi ternyata tak pandang usia, “Perhitungan rezeki-Nya amat sempurna. Dua teman kita lainnya malah dapat celana dan kaos baru gratis karena dapat oleh-oleh dari Si Fulan. Sedangkan Mister yang cermat perhitungan badjetnya, malah gak jadi deh dapat celana baru. Sebenarnya kami pernah berada dalam kondisi lebih sulit dari itu, jeng. Sewaktu kami akan pindah dari Bangkok dan sudah check-out appartemen, ternyata bayiku meninggal di rahim, maka Saya harus tinggal di rumah sakit, bayangkanlah… urusan dua ratus Euro bukanlah masalah besar kalau dibandingkan dengan kejadian itu kan?” ujarku. Lagi pula, masih amat beruntung cuma ditilang (dan memang karena kesalahan memarkir sendiri), bukan dibakar atau dirampok orang lain sebagaimana pengalaman brother kita dari Afrika Selatan.

Temanku menimpali, “Yah sama, kan aku pernah cerita bahwa Suamiku pernah batal terbang gara-gara ada badai salju, lalu harus menginap di Bandara, trus pernah pula sudah sampai ke Indonesia, malah bagasinya masih di Jerman, bayangkanlah cuma punya baju di badan…Kita sudah sering punya masalah yang lebih besar dari itu, makanya kemarin kita ajak dia supaya tenang, sabar, eeeh…malah dia menularkan kepanikan sampai situasi jadi amat menegangkan…” dan teman kami yang Istri Si Mister memang cukup bijak, “Makanya Tuhan belum ngasih anak buat kami yah. Berarti belum siap buat menghadapi masalah yang lebih besar lagi, hehehe…” katanya. Dan ia memang wanita yang sabar, masih setia dengan Sang Mister meski amat berbeda bahasa, pemikiran dan tradisi lainnya.

Kami teringat tukang jual buku di dekat kampus dulu yang tak lain adalah senior di kala kuliah. Dengan mendistribusikan buku dan majalah, kerja multitalenta lainnya di tengah padatnya jadwal kuliah serta menerima secuil bea siswa, ia bisa lulus dengan baik bahkan turut membantu menyekolahkan adik-adiknya di desa. Malah dengan keuntungan dagang yang tak seberapa, ia merupakan donatur rutin musholla di dekat kos-kosannya. Allah SWT Sang Pemberi Kecukupan Rezeki baginya.

Saya teringat akan dua sahabatku di Negeri Jiran, yang satu usai melalui masa kritis karena terapi leukemia bagi bayinya, yang satu lagi terpisah dengan Suami hingga sepuluh tahun lamanya akibat tuduhan terorisme maka ia harus menjadi single-parent bagi kelima buah hatinya. Bahkan ketika anak sulungnya baru lulus sekolah, ujian kesabaran datang lagi, Allah ta’ala mengambil kembali sang amanah tersebut.

Allah ta’ala mengingatkan kita, “Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. Al-Ankabut [29] : 1-3)

Pernah ada teman yang menanyakan kepadanya, “Bagaimana Ummu bisa membayar ratusan juta rupiah untuk kimoterapi ini padahal gaji Suamimu tak seberapa?” Juga kepada sohib yang satu lagi, “Bagaimana kamu menafkahi anak-anakmu hanya dengan menjadi Guru mengaji di Pesantren, hingga mereka bisa bersekolah, koq bisa sih?” dan pertanyaan ‘reseh’ sejenis itu.

Selanjutnya seperti biasa, baca di Eramuslim-Oase Iman yah :-)

Subhanalloh.... Kalau kita makin yakin bahwa tiap hari sudah bertambah rezeki, maka Allah ta'ala akan makin melimpahkan kederasan rezeki-Nya tersebut, insya Allah... punya sahabat baik adalah rezeki-Nya, bertambah teman adalah rezeki-Nya, memperoleh tidur nyenyak dan bisa membuang hajat dengan lancar adalah rezeki-Nya, menyelesaikan problema hidup dengan step by step pun adalah rezeki-Nya, bisa menjaga kesehatan dengan bernafas& mendengar tanpa alat bantu mesin sudah merupakan rezeki yang amat besar,dll... alangkah egoisnya kita jika lupa mensyukuri nikmat-Nya ini... :-) Barokalloh...



Salam Ukhuwah!

Sunday, January 1, 2012

Usah Merisaukan Rezeki (1)





Tamuku datang dari luar kota, dua jam mengendarai mobil ke Krakow. Sebelum ke appartemen kami, dia dan istrinya menginap di appartemen temanku lainnya, tepat di centrum Krakow, mobil mereka diparkir disana.

Mister X sebut saja begitu, ia adalah orang yang serba bisa, usianya di atas empat puluh lima tahun. Zaman sekolah di Poland kala komunis masih berkuasa, anak-anak lelaki harus bisa menjahit baju dan memasak serta membersihkan rumah. Anak perempuan pun harus bisa menambal ban, mengecat rumah, dan memegang alat pertukangan. Mister X baru setahun menikah dengan seorang wanita Indonesia, ia bilang pada suamiku bahwa wanita Poland biasanya amat materialistis, makanya ia amat bahagia bisa menikahi wanita Indonesia. Padahal di Indonesia juga banyak kok ‘pria atau wanita matre’ alias materialistis akibat budaya kian konsumtif, dan tuntunan hidup yang jauh dari aturan-Nya.

Mister X pandai membuat selai buah sendiri, sayur yang dilembutkan sebagaimana tradisi di Poland, bahkan bisa membuat kue-kue sendiri. Ia ajarkan kreativitas itu kepada istrinya, dan mereka bawa hasil kreasi itu saat mengunjungi kami.

Singkat cerita hari itu, Mister X mengobrol dengan bahasa Inggris yang tak terlalu lancar karena dialek yang berbeda (karena ia lebih ahli bahasa Jerman sebagaimana kebanyakan orang tua di Poland), mengomentari makanan yang disajikan banyak sekali, ia bilang, “Kami tidak mau sering-sering ke Krakow, takut nanti mengganggu kalian…”. Saya dan temanku bilang, “Lhooo, mengganggu kenapa? Kami amat senang jika kalian datang. Kami malah bahagia kalau kamu sering datang ke Krakow….”.

“Nanti uang kalian habis buat beli makanan, bikin masakan buat kami, kasian dong mengganggu badjet.”, serius dan datar suaranya. Sebenarnya budaya orang asia, membicarakan hal ini adalah “rahasia perusahaan” alias urusan Rumah tangga masing-masing, namun mungkin bagi Mister X hal itu sudah biasa diungkapkan di depan temannya yang lain. Maka temanku tentu menjelaskan panjang lebar, “Oooh, tidak, mister. Kami semua amat senang kalau kalian berkunjung ke Krakow. Saya udah biasa menerima tamu dari negara atau kota lain, menginap di tempatku, dan memasak sebisaku, kami senang menjamu teman-teman. Kami tidak hitung-hitungan soal makanan, dan sebagainya, jangan risau, mister….”, saya dan teman lainnya pun tersenyum.

Si mister geleng-geleng kepala, katanya, “Ini makanan banyak-banyak di meja, mahal, bagaimana sih kamu bisa mencukupi makanan dan kebutuhan lainnya, anak kalian kan banyak?!”, lucu juga kalimatnya. Padahal jagoan kami baru tiga---belum selusin atau dua puluh anak seperti tetangga ibuku di tanah air, hehehe, begitulah di Eropa, kebanyakan orang sini menganggap anak-anak sebagai beban, tujuan hidup di dunia untuk bersenang-senang, maka kalau ‘beban anak-anak’ mengganggu kesenangan, tujuan hidup itu tak tercapai.


Silakan lanjutin bacanya di link Oase iman-Eramuslim yah, :-)
Semoga bermanfaat, barokalloh, salam ukhuwah selalu... (^-^)